JAKARTA – Hasil sidang paripurna DPR RI pada Kamis (5/9) lalu menyetujui untuk merevisi undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Rancangan undang-undang (RUU) Inisiatif DPR menuai kontrak dari berbagai pihak. Sebagai subjek dalam UU tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencermati materi muatan RUU KPK justru rentan melumpuhkan fungsi-fungsi KPK sebagai lembaga independen pemberantas korupsi.
“Dengan segala kejadian dan agenda yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini, kami harus menyatakan kondisi saat ini bahwa KPK berada di ujung tanduk,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam keterangan pers di Kantor KPK, Kamis (5/9/2019).
Pertama, Agus Raharjo menyampaikan tentang seleksi pimpinan KPK yang menghasilkan 10 nama calon pimpinan yang di dalamnya terdapat orang yang bermasalah. Hal itu menurutnya akan membuat kerja KPK terbelenggu dan sangat mudah diganggu oleh berbagai pihak.
Sembilan hal lainnya adalah, independensi KPK yang terancam, penyadapan dipersulit dan dibatasi, adanya pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, pembatasan sumber penyelidik dan penyidik, penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan dipangkas, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
Tak hanya RUU KPK, DPR juga tengah menggodok RUU KUHP yang akan mencabut sifat khusus dari Tindak Pidana Korupsi, sehingga keberadaan KPK terancam.
KPK menyadari DPR memiliki wewenang untuk menyusun RUU inisiatif dari DPR. Akan tetapi, KPK meminta DPR tidak menggunakan wewenang tersebut untuk melemahkan dan melumpuhkan KPK.
KPK juga menyadari RUU KPK inisiatif DPR tersebut tidak akan mungkin dapat menjadi undang-undang jika Presiden menolak dan tidak menyetujui RUU tersebut. Karena undang-undang dibentuk berdasarkan persetujuan DPR dan Presiden.
Oleh karena itu KPK berharap Presiden dapat membahas terlebih dulu bersama akademisi, masyarakat dan lembaga terkait untuk memutuskan perlu atau tidaknya merevisi undang-undang KPK dan format KUHP tersebut. KPK percaya, Presiden akan tetap konsisten dengan pernyataan yang pernah disampaikan bahwa Presiden tidak akan melemahkan KPK.
Apalagi saat ini Presiden memiliki sejumlah agenda penting untuk melakukan pembangunan dan melayani masyarakat. Polemik revisi UU KPK dan upaya melumpuhkan KPK ini semestinya tidak perlu ada sehingga Presiden Joko Widodo dapat fokus pada seluruh rencana yang telah disusun. Dan KPK juga mendukung program kerja Presiden melalui tugas Pencegahan dan Penindakan Korupsi. (RKZ)