Pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia terus beradaptasi dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi beberapa dekade terakhir. Adaptasi teknologi ini, selain karena tak terelakkan, juga sebagai upaya perbaikan penyelenggaraan demokrasi elektoral di Indonesia. Selain itu, adaptasi teknologi informasi dan komunikasi ini dilakukan karena cukup memberi kemudahan, baik bagi penyelenggara, peserta, juga pemilih. Hal ini tampak jelas dari pelaksanaan beberapa tahapan pemilu.
Tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 yang dilaksanakan secara serentak untuk memilih calon anggota legislatif (DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan DPD) dan Presiden dan Wakil Presiden sementara berjalan. Di sepanjang tahapan ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) misalnya, telah menerapkan beberapa sistem berbasis teknologi informasi. Di antaranya, Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih), Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), Sistem Informasi Perseorangan Peserta Pemilu (SIPPP), Sistem Informasi Pencalonan (Silon), Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam), dan Sistem Informasi Perhitungan (Situng). Demikian pula Bawaslu yang menerapkan Sistem Pengawasan Pemilu/Pilkada “GOWASLU”, dan Sistem Informasi Penyelesaian Sengketa (SITS).
Urgensi Adaptasi Teknologi dalam Penyelenggaraan Pemilu
Penerapan sistem dan berbagai aplikasi berbasis teknologi digital tentu sangat membantu penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pelaksana maupun pengawas. Dengan sistem ini, aktivitas penyelenggara pemilu seperti pendataan, pengarsipan dan pelaporan yang sebelumnya dilakukan secara manual dan menguras sumberdaya menjadi serba otomatis, praksis dan efisien dari segi waktu, tenaga, dan finansial. Selain itu, juga mempermudah penyelenggara untuk melakukan sosialisasi, pendidikan pemilih dan partisipasi masyarakat. Terutama dalam menyebarluaskan informasi mengenai tahapan, jadwal dan program pemilu, meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang hak dan kewajiban dalam pemilu dan meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu (PKPU Nomor 10 Tahun 2018, Pasal 4).
Penerapan teknologi dalam penyelenggaraan pemilu tentu sebuah inovasi. Layaknya sebuah inovasi, penerapan teknologi diharapkan tidak hanya mempermudah pekerjaan dan tugas-tugas teknis penyelengara pemilu, tetapi lebih dari itu. Adaptasi teknologi ini juga memberikan kemudahan masyarakat dalam aksesibilitas informasi, transparansi dan akuntabilitas sebagai bagian dari pelayanan publik yang sehat, termasuk dalam penyelenggaraan pemilu. Dengan begitu, terbuka peluang yang lebih besar untuk menarik minat, dan meningkatkan kesadaran dan partisipasi pemilih (penggunaan hak pilih) – Poin ini yang lebih utama. Sebab, tumbuhkembangnya kesadaran politis dan tingginya partisipasi pemilih tak lain adalah tolak ukur utama kesuksesan penyelenggaraan pemilu.
Sejatinya memang, apa yang dilakukan KPU dalam rangka menyebarluaskan informasi kepemiluan perlu terus berinovasi. Demikian juga dalam memberikan edukasi politik kepada pemilih dan peserta pemilu, dan upaya meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilih. Beberapa program yang diinisiasi KPU seperti “KPU goes to schoolI”, dan “KPU goes to campus” perlu diapresiasi sebagai upaya-upaya kreatif dalam mengedukasi pemilih pemula. Meskipun demikian, penyakit klasik, apatisme politis yang tentu saja dipengaruhi beragam faktor menuntut pola dan bentuk sosialisasi dan pendidikan pemilih yang jauh lebih variatif dan kreatif. Perlu ada sebentuk sintesa yang lahir dari kombinasi pengetahuan, pengalaman-pengalaman penyelenggaraan kepemiluan sebelumnya dengan teknologi informasi dan komunikasi mutakhir.
Mengapa harus dengan teknologi? Berkat tekonologi, kita berada dalam dunia baru dimana segala hal benar-benar berubah nyaris melampaui kecepatan berpikir dan bertindak. Itulah “Peradaban Uber”, satu jenis peradaban yang menuntut manajemen baru dan disruptive mindset. Tentang bagaimana perubahan ini bekerja, Rhenald Kasali dalam buku “DISRUPTION” memberikan gambaran cukup detail, untuk mengenali ciri-cirinya dan bagaimana kita harus melakukan penyesuaian. Beberapa ciri di antaranya, real time dan eksponensial, dan On Demand Economy.
Dengan real time, data hari ini, pada detik ini juga langsung terolah dalam big data dan secepat itu pula bisa disimpulkan dan ditindaklanjuti. Real time menghasilan indikator-indikator terkini, yaitu saat kita sedang menghadapinya sehingga lebih relevan dalam membuat keputusan. Ciri On Demand Economy dapat berarti, saat konsumen menghendaki, anda sudah berada di dekat mereka dengan produk atau layanan anda (Kasali, 2017: 21-22). Ciri-ciri ini tentu saja merupakan prinsip yang berlaku dalam dunia ekonomi dengan teknologi sebagai pandu. Tetapi juga sekaligus mempengaruhi prilaku masyarakat di era digital dihampir semua sektor pelayanan publik. Tidak terkecuali dalam penyelenggaraan pemilu.
Di Era digitalisasi – pelipatgandaan kecepatan secara eksponensial yang semakin hari semakin cepat (Kasali, 2017:22) – ini, ruang-ruang kreativitas untuk menyokong kegiatan sosialisasi dan edukasi kepemiluan terbuka lebar. Gegasnya inovasi teknologi informasi dan komunikasi baik dalam bentuk perangkat keras – terutama smartphone yang selalu lengket di tangan, internet maupun perangkat lunak yang menghadirkan beragam aplikasi cerdas – terutama aplikasi media sosial, adalah modal besar bagi penyelenggara pemilu untuk lebih inovatif. Hal ini digenapi dengan tingginya populasi netter (pengguna internet) di Indonesia. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bertajuk “Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2017” yang dipublikasikan dalam BULETIN APJII EDISI 22 – Maret 2018, menyebut penetrasi pengguna internet di Indonesia pada rentang waktu 2016-2017 meningkat menjadi 143,26 juta jiwa atau setara 54,7 persen dari total penduduk Indonesia (sumber: https://apjii.or.id).
Pertanyaannya, mampukah penyelenggara pemilu melakukan penyesuaian-penyesuaian itu? Ataukah mentransformasi modal dan peluang-peluang ini menjadi kekuatan untuk mempermudah tugas-tugas penyelenggara dan memberikan pendidikan politik kepada pemilih dan peserta pemilu? *bersambung