Oleh: Nardi Maruapey
(Kader Himpunan Mahasiswa Islam)
Umat Islam terkhusus di Indonesia pernah mengalami periode-periode memilukan yang menyebabkan kita mengalami kemunduran pada cara pandang dalam melihat realitas dan terjebak pada suatu sistem kelas sosial yang sangat kental bahkan sampai keras.
Yang pertama itu umat Islam kebanyakan masih berpikir dalam suasana mitos-mitos, dan masih lebih mementingkan hubungan patron-klien. Sedangkan untuk yang kedua, umat Islam masih berada dalam struktur feodal, ada jarak antara kaum tua dengan kaum muda, terpelajar dengan petani, dan antara struktur atas dengan bawah. Sehingga masyarakat saat itu terbagi dua, yakni orang-orang besar (priya-agung) dan orang orang-orang kecil (wong cilik).
Inilah krisis dari dinamika umat Islam dalam melewati pergolakan sosial kebangsaan hingga yang terjadi adalah gerakan Islam selalu kehilangan basis sosialnya. Tentu ini diakibatkan karena Islam belum mampu diterima dan dipahami sebagai suatu kekuatan sosial yang utuh.
Masalah lain yang dihadapi umat Islam pada periodesasi itu dan sampai saat ini masih juga ada adalah ketika Islam belum bisa menjadi solusi bagi masyarakat soal “keadilan sosial” atau social justice, karena kebanyakan masih memaknai Islam hanya pada konteks ritual-ritual keagamaan. Sebab, selama ini Islam hanya berbicara yang normatif saja: Apa yang diperbolehkan oleh agama dan apa yang dilarang.
Norma-norma langit tidak dapat begitu saja bisa diterapkan dalam kenyataan bumi. Umat perlu memahami realitas yang terjadi di alam nyata. Benarnya Islam juga mesti harus digunakan sebagai pandangan hidup, lebih radikal lagi Ideologi. Memang benar, Islam bukan ideologi, tetapi Islam memerlukan ideologi. Artinya pola pikir umat Islam perlu mengalami perubahan sampai kepada tujuan untuk memunculkan sikap yang revolusioner.
Dengan kata lain, merubah merubah pola pikir umat yang masih normatif menuju ke yang praktis. Karena dalam konteks ajaran atau paham, baik liberalis, sosialis, maupun komunis. Semuanya tentu mempunyai kepentingan. Begitu juga dengan Islam yang punya kepentingan dari normatif ke yang praktis yakni untuk masyarakat bisa memahami ajaran yang terkandung didalamnya ketika melihat realitas sosial. Selain mengajarkan masyarakat untuk mencerdaskan akal pikir dalam melihat realitas, Islam juga sangat mengajurkan penting akhlak masyarakat.
Menurut Hasan Hanafi (1991) dalam bukunya Agama Ideologi dan Pembangunan, dijelaskan, Islam bukan hanya menjadi ajaran yang ingin meraih tujuan-tujuan ukhrawi, tetapi juga akan menjadi kekuatan revolusioner yang berperan aktif dalam menciptakan kebaikan di atas dunia ini. Bagi Hasan Hanafi, umat Islam pada masa ini harus merevolusionalisasikan agama dan teologi Islam jika ingin menyelesaikan permasalahan-permasalahan hidup yang dialami kaum Muslim.
Selanjutnya Hassan Hanafi juga menegaskan bahwa teologi Islam harus bersifat antroposentris dan memusatkan diri pada persoalan kemanusiaan. Dengan kecenderungan antroposentris seperti itu manfaat teologi akan lebih bisa dimaksimalkan bagi kepentingan manusia. Tawaran yang diajukan Hanafi ini untuk rekonstruksi ulang itu adalah merubah orientasi teologi Islam yang cenderung teosentris menjadi antroposentris.
Terkait dengan kepentingan Islam, Kuntowijoyo menjelaskan dalam buku yang ditulisnya Dinamika Sejarah Umat Islam (2017) bahwa terkait akhir ajaran Islam adalah untuk masyarakat. Tetapi Kunto juga menyadari kalau kita (Umat Islam) sampai saat ini masih lemah dalam memahami perubahan sosial karena belum mempunyai rumusan operasional dalam mengubah masyarakat.
Kausalitas
Latar belakang kondisi umat Islam ini diakibatkan oleh beberapa faktor: Pertama, karena pemeluk Islam sebelumnya sudah dibentuk dengan pandangan Hindu-Budha yang sarat akan mistisisme dan serba takhayul, maka ketika memeluk Islam pun sisa-sisa agama sebelumnya masih kuat melekat.
Kedua, tidak ada keseimbangan dalam memahami hakikat ilmu pengetahuan. Artinya, umat Islam lebih cenderung ke ilmu naqli (agama) untuk kepentingan ukhrawi saja. Sedangkan ilmu aqli (sains) diabaikan. Ketiga, umat Islam masih terpecah dalam kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan berbagai kepentingan lainnya.
Beberapa kondisi umat Islam seperti demikianlah yang menyebabkan sampai hari ini umat Islam masih tertinggal dalam segala aspek, terlihat lambat melakukan perubahan, dan bergerak menuju titik yang lebih baik secara individu maupun kolektif hampir tidak ada. Umat Islam terus mengalami degradasi. Kalau kondisi ini terus dipertahankan, maka tidak membutuhkan waktu yang lama dan akan mudah menjadi korban atau disingkirkan dari proses sejarah.
Perlu diketahui bahwa pada dasarnya ajaran Islam mempunyai daya tonjok yang kuat. Tetapi dalam pemahaman justru secara kolektif umat Islam sering kurang menghayati watak dari dasar Islam. Dari segi etika juga sama bahwa etika individual memang ada, tetapi etika kolektif masih kabur. Dalam konteks inilah, Islam harus dimaknai bukan hanya sebagai kekuatan individual saja, tetapi lebih dari itu Islam merupakan kekuatan yang bisa merubah watak umat secara kolektif.
Ketidakmampuan umat dalam memahami ajaran Islam secara universal. Inilah yang menyebabkan Islam terus mengalami kemunduran atau lambat dalam bergerak menuju pembaharuan pemikiran. Kondisi ini menyebabkan umat Islam masih kalah jauh dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus mengalami perkembangan ini. Padahal dalam history peradaban Islam, kitalah yang menemukan cahaya ilmu dan mengembangkannya sampai ke Bangsa Eropa, Asia, bahkan dunia.
Menuju Kemajuan Umat
Ada tiga syarat menuju kebangkitan Islam yang diajukan oleh Yusuf Effendi (2015) dalam bukunya “Kebangkitan Kedua Umat Islam: Jalan Menuju Kemuliaan”, yakni kematangan berdemokrasi, kemuliaan akhlak, dan kecintaan pada ilmu.
Pertama, dimaksudkan untuk membangun kehidupan bernegara. Kedua, membentuk karakter baik individu maupun kolektif. Ketiga, mendalami dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan (naqli-aqli). Dan semua itu dilaksanakan berdasarkan prinsip etik Islam.
Sekali lagi, mengenai Islam yang seharusnya dimaknai secara universal dipertegas kembali oleh Murtadha Muthahhari dalam Belajar Konsep Logika: Menggali Struktur Berpikir ke Arah Konsep Filsafat (cet. V, 2017), mengatakan bahwa jelas, Islam merupakan agama yang tidak membatasi dirinya pada sejumlah petuah etis yang bersifat individual-personal, melainkan merupakan agama yang berusaha untuk membangun sebuah masyarakat sempurna. Apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat, Islam mewajibkannya.
Sebagai seorang intelektual Islam, Muthahhari juga sangat menginginkan terciptanya perubahan umat Islam sesuai dengan kehendak ajaran-ajaran Islam yang terdapat Alquran dan As-sunnah sebagai pedoman untuk menuju kesadaran masyarakat. Sebab kemajuan akan terjadi apabila masyarakat sudah mengalami kesadaran.
Keinginan untuk membuat perubahan sesuai dengan pandangan dan ajaran-ajaran Islam harus dilaksanakan secara kolektif melalui langkah-langkah yang terorganisir-terstruktur dengan tujuan membuat umat Islam terkhususnya di Indonesia mempunyai daya tonjok yang kuat baik secara kuantitas maupun kualitas.
Penguasaan ilmu pengetahuan dan perbaikan akhlak menjadi kombinasi sebagai kekuatan (power) umat Islam menghadapi perkembangan dan situasi global. Islam mengajak berpikir lurus dan berakhlak mulia, mengajak manusia agar manusia sadar akan kedudukannya di hadapan Tuhan, penguasa makro-kosmos ini. Umat diharuskan berperan serta sehingga mampu mengawal kemajuan ilmu pengetahuan.
Selain menguasai ilmu pengetahuan. Umat Islam diharapkan dapat merasionalisasikan keadaan yakni dengan memperkuat perekonomian, terdepan dalam teknologi hingga memegang kendali strategi politik. Hal ini dapat dikontekstualisasikan lewat bagaimana lembaga yang ada dalam masyarakat bisa diisi oleh umat Islam yang terstruktur, seperti; perguruan tinggi, media massa, lembaga penelitian, perbank-kan, dan lembaga perekonomian lainnya.
Dorongan Islam terhadap kemajuan umat untuk menjawab berbagai perkembangan hendaklah secara menyeluruh, tidak hanya soal ibadah tetapi juga soal sosial kemasyarakatan. Demikian firman Allah swt; “masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan” (udkhulu fi al silmi kaffah) (Q.S al-Baqarah[2]: 208).
Dari Persatuan Ke Aksi
Dari persatuan umat dalam bentuk kekuatan, konsep, pemikiran, ide harus dibawa ke gerakan atau aksi nyata. Bahwa sebelum ada aksi nyata yang dilakukan umat secara kolektif. Maka, langkah pertama yang harus dikerjakan adalah umat Islam yang masih terpecah menjadi kelompok-kelompok dipersatukan dengan kesadaran demi kepentingan Islam.
Kalau persatuan sudah ada. Baru setelah itu kita menyusun peta kondisi untuk selanjutnya membuat strategi yang kita kehendaki dalam menghadapi dinamika perkembangan sosial masyarakat.
Perlu ditegaskan bahwa semua orang (Islam) harus sadar menggunakan kekuatan agama sebagai kekuatan etik, kekuatan kultural, kekuatan ekonomi, juga kritik sosial. Bukan hanya menjadikan agama sebagai kekuatan kepercayaan dalam bentuk iman.
Mengenai berhasil dan tidaknya umat Islam menghadapi perkembangan dinamika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah dengan ukuran terletak pada ada tidaknya konsistensi umat antara ucapan dan perbuatan; antara iman, ilmu, dan amal yang tentu bersandar pada pedoman hidup Islam, Al-Qur’an dan Hadits. (*/APP)