TANJUNG SELOR – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Utara (Kaltara) menilai perlunya peningkatan upaya penegakan hukum guna memberikan efek jera kepada pembakar hutan dan lahan. Selain itu, pelakunya juga harus diekspose ke media.
Kepala Bidang (Kabid) Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kaltara Muhammad Sarwana saat menjadi narasumber pada Respons Kaltara (ResKal), Selasa (5/3) di Kedai 99, Tanjung Selor.
Karhutla sendiri, menurut informasi BPBD Kaltara disebabkan terhambatnya pertumbuhan awan akibat peningkatan tekanan udara di bagian barat samudera pasifik, utamanya di atas lautan di bagian timur Indonesia. Dampaknya, beberapa wilayah di Indonesia mengalami penurunan curah hujan yang dikatakan jauh dari normalnya atau kekeringan. Salah satunya yang terdampak adalah, Provinsi Kaltara. “Secara sosial budaya, sedianya masyarakat pribumi Kaltara sudah mampu mengelola lahan untuk pertanian secara baik. Biasanya, untuk membersihkan lahan dengan membakar, warga akan membuat sekat bakar atau semacamnya. Berbeda dengan warga yang iseng atau sengaja membakar lahan dengan tujuan lain. Ini yang perlu perhatian dan diberi efek jera,” beber Sarwana.
Selain memberikan efek jera kepada pelaku pembakar hutan dan lahan, koordinasi dan kerja sama lintas sektor juga diperlukan dalam penanggulangan bencana seperti ini. Hal dimaksud, terkait dengan rencana evakuasi bagi korban bencana. Baik, alat pemantauan kualitas udara atau Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU). Selain itu, guna menghadapi kondisi ekstrem perlu dibuat rumah singgah dengan tabung oksigen. “Dari itu, saya mengimbau peran serta OPD (Organisasi Perangkat Daerah) seperti Dinkes (Dinas Kesehatan) dan DLH (Dinas Lingkungan Hidup),” ucap Sarwana.
Pentingnya upaya antisipasi dan penanggulangan karhutla, juga ditopang oleh fakta bahwa Kaltara merupakan provinsi dengan jumlah hotspot terbanyak di Indonesia. Sesuai catatan BPBD Kaltara, jumlah hotspot di Kaltara dalam 10 hari terakhir (tingkat kepercayaan 51 hingga 100 persen) update 2 Maret 2019, sebanyak 45 titik. Ini menempatkan Kaltara sebagai provinsi dengan jumlah hotspot terbanyak ketiga di Indonesia, setelah Riau (358 hotspot), dan Kalimantan Timur (97 hotspot). “Pemprov Kaltara melalui BPBD Kaltara sudah melakukan upaya antisipasi lainnya. Di antaranya, edukasi antisipasi bencana pada anak usia dini, pembentukan Desa Tangguh Bencana, dan lainnya,” ungkap Sarwana.
Patut diketahui, BPBD Kaltara terkait penanganan bencana sendiri, berperan sebagai koordinator. BPBD Kaltara akan bertindak di lapangan apabila skala bencana lebih besar daripada yang mampu ditangani BPBD setempat. Dalam penanganannya, BPBD Kaltara juga bermitra dengan sejumlah pihak terkait.(humas)