Oleh: Ach. Fatori
Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.
Pengawasan Pemilu di Indonesia yang secara formal diamanatkan kepada lembaga negara yang terakhir bernama Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) melalui Undang-Undang terus bertransformasi menjadi lembaga yang semakin kuat.
Pembentukan Bawaslu pada hakikatnya tidak terlepas dari keinginan masyarakat yang mengendaki ada lembaga formal yang mengawasi penyelenggaraan pemilu agar pesta demokrasi tersebut berjalan baik tanpa ada kecurangan. Dengan kata lain,untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas, keberadaaan lembaga yang berkerja secara khusus untuk mengawasi pemilu sangatlah penting.
Standar pemilu yang demokratis adalah keberhasilannya dalam menghasilkan pemilu yang memberikan jaminan legitimasi demokrasi. Legitimasi tersebut tercapai apabila memenuhi beberapa nilai yaitu transparansi, akuntabilitas, kredibilitas, dan integritas, sehingga masyarakat percaya terhadap penyelenggaraan pemilu yang pada akhirnya juga percaya terhadap hasilnya. Dalam hal ini, pengawasan pemilu yang efektif diyakini menjadi sebuah instrument yang mampu memberikan jaminan atas pelaksanaan pemilu yang demokratis.
Selain itu, partisipasi masyarakat juga menjadi instrumen yang tak kalah penting dalam mencapai titik pemilu yang domkratis. Bentuk partisipasi paling minimal adalah mereka mau datang untuk menggunakan hak pilihnya. Partisipasi masyarakat di level yang lebih tinggi dari sekedar menggunakan hak pilihnya adalah ketika mereka mau terlibat dalam pendidikan pemilih, atau bahkan terlibat sebagai pemantau pemilu. Partisipasi masyarakat sebagai pemantau tentu membutuhkan keterampilan dan pengetahuan yang baik, seperti pengetahuan atas isu kepemiluan dan pelanggaran pemilu.
Sejak awal kita harus meyakini bahwa fungsi pengawasan pemilu pada hakikatnya berada di tangan rakyat, sedangkan badan khusus seperti Bawaslu adalah sebagai wujud mandat politik dari lingkaran demokrasi. Ide partisipasi politik masyarakat dalam melakukan pengawasan pemilu itu muncul sebagai upaya untuk memenuhi hakikat fungsi warga negara. Selain itu, kesadaran akan perlunya membuka ruang bagi partisipasi masyarakat dalam setiap proses politik di Republik Indonesia juga mendorong akan lahirnya ide tersebut.
Buku Membumikan Pengawasan Pemilu (Mozaik Pandangan dan Catatan Kritis Dari Dalam) Mahakarya dari M. Affifudin Anggota Bawaslu RI, dengan sangat jelas memaparkan bagaimana dan apa saja yang harus dan telah dilakukan oleh Bawaslu dalam menjaga kualitas Pemilu terutama dalam rangka mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu. Selain itu, buku ini juga memasukkan pengalaman pribadi penulis selama menjadi aktivis pemilu selaku Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).
Buku ini dibangun dengan landasan pemikiran yang filosofis, didukung dengan kerangka teoritik hingga tataran strategis dan implemtansi teknis dilapangan. Sehingga ketika membaca buku ini, kita akan dipaksa masuk kedalam ruang dimensi perjalanan pengalaman masa lalu penulis ketika menjadi aktivis pemilu maupun ketika berada di ‘dalam’ Bawaslu RI saat ini. Itulah yang kemudian mendorong saya untuk mengupas buku yang penuh dengan khazanah ilmu kepemiluan ini.
Ketika sekilas melihat sampul buku tersebut, kemudian menegelitik pikiran saya terhadap pemilihan diksi “Membumikan” dalam pemilihan judul buku. Diksi tersebut secara implisit mengandung makna bahwa apa yang akan “dibumikan” yaitu “pengawasan pemilu” masih “melangit”. Jika dimaknai secara metaforik, diksi “membumikan” menginsyaratkan “jauhnya” pengawasan pemilu dari kehidupan masyarakat. Padahal sebagaimana dalam buku ini diungkap bahwa orang tua dari lembaga pengawas (Bawaslu) adalah rakyat. Bagaimana mungkin lembaga yang dilahirkan oleh rakyat dikatakan “Jauh” dari rakyat itu sendiri.
Setelah membaca buku ini baru saya menyimpulkan bahwa pemilihan diksi “Membumikan” adalah salah satu gambaran umum tentang apa yang dilakukan oleh Bawaslu RI periode 2017-2022, yang berupaya untuk semakin mewujudkan “yang jauh” menjadi “yang dekat”. Artinya, Pengawasan pemilu yang selama ini bisa dikatakan belum utuh berada ditengah-tengah masyarakat, akan diwujudkan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Jika belajar dari Abdurahman Wahid (Gusdur) dalam membumikan Islam dengan cara melebur dan bersinergi dengan kebudayaan lokal, maka Bawaslu juga menggunakan pendekatan tersebut dalam membumikan pengawasan pemilu. Yakni bergerak dan menyelami budaya yang berkembang di masyarakat untuk membuat gerakan yang masif ditengah masyarakat dengan berbasis budaya setempat.
Beberapa hal penting yang dilakukan Bawaslu dalam membumikan Pengawasan Pemilu yaitu pertama, Transformasi Pengawasan Partisipatif. Bagi Bawaslu, pengawasan partisipatif sangat penting untuk menciptakan pemilu yang berkualitas, Bawaslu tidak bisa bekerja sendirian dalam melakukan pengawasan Pemilu. Oleh karena itu, menjadi tugas besar bagi Bawaslu dari sisi kelembagaan untuk melakukan penguatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu, sebagaimana jargon Bawaslu “Bersama Rakyat, Awasi Pemilu”.
Disamping Bawaslu memiliki tujuh program besar yang mendorong transformasi pengawasan partisipasi oleh masyarakat yang diantaranya adalah, program Pengawasan Berbasis Teknologi Informasi atau Gowaslu, Forum Warga, Gerakan Pengawas Partisipatif Pemilu (Gempar), Pengabdian Masyarakat dalam Pengawasan Pemilu, Pojok Pengawasan, dan Satuan Karya Pramuka (Saka) Adhyasta Pemilu. Bawaslu juga melahirkan program Sekolah Kader Pengawas Pemilu Partisipatif (SKPP) sebagai sebuah gerakan yang memberikan pendidikan pengawasan kepada masyarakat dalam bentuk pendidikan yang berkelanjutan. Setelah mengikuti sekolah kader ini, diharapkan para alumninya dapat menggerakkan masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap proses pelaksanaan pemilu.
Kedua, Menata Identitas Bawaslu. Sejak berdirinya hingga tahun 2017, banyak kesalahan persepsi masyarakat tentang status Bawaslu, ada yang mengira Bawaslu adalah lembaga swadaya masyarakat bahkan sering pula terjadi kesalahan dalam penyebutan dengan nama “Banwaslu”. Disamping itu, logo Bawaslu dengan bentuk lingkaran dengan gambar burung garuda dan latar belakang merah putih dikelilingi tulisan Badan Pengawas Pemilihan Umum dianggap kurang menarik khusunya bagi generasi milenial.
Jika Bawaslu bercita-cita ingin membumikan pengawasan pemilu, maka diperlukan upaya membangun identitas baru dengan penjenamaan (re-branding) melalui unsur merk yang baru. Hal itu dilakukan agar pengawasan pemilu menjadi lebih dekat dengan masyarakat sebagai mitra kerja, serta membangun rasa kepemilikan (sense of belongin) masyarakat terhadap Bawaslu. Salah satu langkah radikal yang dilakukan untuk itu adalah mengganti Logo Bawaslu dengan merepresentasikan slogan baru Bawaslu yaitu “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”.
Kemudian dalam rangka membangun ikatan emosional yang hangat, sepadan, tak berjarak dan tidak ada kesungkanan dengan masyarakat. Bawaslu menetapkan Sapaan dengan “Sahabat Bawaslu”. Sapaan tersebut tersebut sering didengungkan pada setiap komunikasi kepada semua pihak. kedekatan antara Bawaslu dengan banyak pihak dari berbagai latar belakang menjadi modal untuk membuat kerja-kerja pengawasan menjadi lebih menyenangkan.
Ketiga, Menyentuh Hati Publik. Indonesia sebagai negara yang majemuk dengan tingkat keberagaman yang tinggi, memiliki kekuatan yang luarbiasa jika dikelola dengan baik. Sebaliknya, pengelolaan yang tidak tepat akan menimbulkan sumber ancaman disintegrasi bangsa. Dalam konteks kehidupan politik dan kepemiluan, identitas agama dan etnik menjadi aspek yang sering dibicarakan. Pada pemilu 2019 kemarin, isue yang mencuat dengan melibatkan unsur agama adalah politik identitas.
Politik identitas tentu bukan hal yang haram dan dilarang oleh undang-undang, akan tetapi baru menjadi masalah apabila hal itu dipolitisasi. Politik identitas menjadi berbahaya apabila memicu perpecahan akibat disebabkan secara masif melalui berbagai medium. Gelombang politisasi identitas berpotensi semakin besar dan menimbulkan kerusakan lantaran makin beragamnya media kampanye.
Melihat hal itu, Bawaslu membangun komunikasi dan koordinasi yang intensif dengan para pemangku kepentingan, termasuk tokoh masyarakat dan agama untuk mengantisipasi politisasi identitas. Atas dasar besarnya kemampuan tokoh agama dalam menyentuh pemilu dalam penyelenggaraan pemilu dan semangat pengawasan partisipatif, Bawaslu menggandeng pemuka agama dan pemuka adat untuk memaksimalkan peran pengawasan. Hal itu juga merupakan bagian dari upaya membumikan pengawasan pemilu.
Kempat, Optimalisasi Peran Humas. Memasuki era revolusi industri 4.0 dimana teknologi telah menjadi basis dalam kehidupan manusia. Era ini telah mempengaruhi banyak aspek kehidupan baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, termasuk dalam menyampaikan setiap informasi. Salah satu prinsip rancangan industri 4.0 yaitu kecepatan dan ketepatan informasi.
Dalam konteks pengawasan pemilu, informasi tentang proses tahapan pengawasan dan apa yang dilakukan oleh Bawaslu harus disampaikan kepada publik. Tentu dibutuhkan alat (tools) yang harus digunakan oleh lembaga untuk menjalankan fungsi tersebut, diantaranya adalah Media Sosial (Medsos) yang belakangan ini menjadi platform populer dalam menjalankan komunikasi publik.
Keseriusan Bawaslu mengelola media sosial dibuktikan dengan keseriusannya dalam meningkatkan kapasitas personel humas Bawaslu RI hingga Kabupaten/Kota dalam pengelolaan media sosial. Optimalisasi penggunaan medsos sebagai sarana komunikasi tidak hanya dilakukan melalui akun resmi lembaga. Penyebaran informasi kinerja, edukasi, kampanye positif, dan agenda Bawaslu, Bawaslu juga memanfaatlan akun media sosial pribadi personel pengawas pemilu, mulai dari pimpinan hingga staf, dari pusat hingga ke tingkat pengawas tempat pemungutan suara (TPS).
Selain itu, hubungan dengan media massa arus utama (media relations) merupakan bentuk strategi komunikasi kehumasan dalam menjaga hubungan dengan media. Tim humas Bawaslu selain memberitakan kegiatan Bawaslu, mereka juga konsisten menyebarkan siaran pers mengenai kinerja Bawaslu terutama terkait data. Siaran pers Bawaslu tidak sekedar dikirimkan secara cepat, tetapi juga diolah dengan teks, data, dan grafis yang memiliki nilai berita yang baik untuk dikutip oleh jurnalis.
Ikhtiar tersebut secara perlahan berbuah manis, mulai dari meningkatnya pengikut (followers), penggemar (fans), dan pelanggan (subcribers) akun resmi media sosial Bawaslu. kemudian hasil penelitian Curve Research pada tahun 2019 yang mengungkapkan salah satu Pimpinan Bawaslu merupakan figur yang paling dikenal oleh Publik. Hingga dinobatkannya Bawaslu sebagai lembaga nonstruktural yang paling populer dan banyak diberitakan selama tahun 2019 oleh Public Relations Indonesia Award (PRIA). (*/APP)