Penulis H. Mumaddadah, SH, MH
Tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak Tahun 2020 telah dimulai ada bebarapa daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah di seluruh wilayah Indonesia, tercatat 9 provinsi akan melaksanakan pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur , 224 Kabupaten akan memilih Bupati dan wakil Bupati serta 37 Kota akan memilih Walikota dan Wakil Walikota. Dalam mengajukan calon kepala daerah dan/atau pun wakil kelapa daerah si calon harus memenuhi beberapa persyaratan untuk dapat berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah tersebut.
Menarik untuk didiskusikan, berdasarkan hasil survey penulis dibeberapa media cetak, media online, media sosial serta media televisi, banyak yang mengangkat tajuk persoalan persyarat calon mantan koruptor, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba hingga perbuatan tercela.
Mengutip Undang-undang No.10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang No. 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubenur, Bupati dan walikota menjadi Undang-undang terkait pasal persyarat calon misalkan Pasal 7 ayat (2) huruf g “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana”.
Penjelasan pasal 7 ayat (2) huruf g tersebut menyatakan yang dimaksud dengan “mantan terpidana” adalah orang yang sudah tidak ada hubungan baik teknis (pidana) maupun administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum dan hak asasi manusia, kecuali mantan terpidana bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak. Dalam penjelasan tersebut mantan narapidana kasus korupsi tidak termasuk yang dikecualikan.
Lalu kemudian ditegaskan dengan lahirnya Peraturan KPU Nomor 03 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota 2018 Pasal 4 menegaskan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana karena kealpaan ringan (culpa levis), terpidana karena alasan politik, terpidana yang tidak menjalani pidana dalam penjara wajib secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan sedang menjalani pidana tidak didalam penjara.
Bagi Mantan Terpidana yang telah selesai menjalani masa pemidanaannya, secara kumulatif, wajib memenuhi syarat secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang, kecuali bagi Mantan Terpidana yang telah selesai menjalani masa pidananya paling singkat 5 (lima) tahun sebelum jadwal pendaftaran. Sebenarnya pasal tersebut hanya butuh untuk dikonkritkan, misalkan mempersiapkan format khusus atau form yang sedikitnya memuat Nama Mantan Narapidana, kasus pidana apa, vonis pengadilan terhadap kasus pidananya, lalu kemudian form tersebut diserahkan kepada KPU yang selanjutnya diumumkan oleh KPU beserta jajarannya dengan cara mempublikasikannya melalui media, memasang pengumuman di kantor desa/kelurahan dilingkungang Rukun Tetangga (RT) hingga dirumah-rumah ibadah untuk dapat diketahui khalayak ramai atau semua lapisan masyarakat sehingga menjadi pertimbangan bagi pemilih untuk memilih calon tersebut.
Jika hal publikasi tersebut diserahkan kepada bakal calon ataupun si calon besar kemungkinan bakal calon ataupun si calon asal-asal dalam menginformasikan data terkait tindak pidana serta vonis pengadilan, lain lagi pemilihan media publikasi yang tidak semua orang dapat mengakses. Tentu dengan penerapan metode diatas masyarakat dapat berpartisipasi dalam mengawal sebuah ketentuan yang telah ditetapkan oleh undang-undang dengan kata lain masyarakat berperan sebagai alat kontrol sosial.
Dalam Undang-Undang Pilkada, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merupakan salah satu lembaga penyelenggara Pemilu diberikan beberapa tugas dan kewenagan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 9 Undang-Undang Pilkada. KPU diberikan tugas menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat. Hadirnya Peraturan KPU merupakan wujud amanah dari Undang-Undang.
Draft Peraturan KPU tampaknya lebih getol dalam mengatur persyaratan calon, khususnya perbuatan tercela. Pasal 4 poin J menjabarkan calon kepala daerah tidak pernah melakukan perbuatan Judi, Mabuk, pemakai atau pengedar narkotika, zina dan peruatan assila lainnya. Tampaknya KPU melalui produk hukumnya yakni draft Peraturan KPU yang nantinya akan dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan Pilkada menginginkan sebuah calon pemimpin yang begitu sempurna darisegi kriteria.
Adanya wacana pelarangan terhadap eks narapidana koruptor turut andil dalam pesta demokrasi tampaknya akan kembali bergulir dan menjadi isu hangat diperbincangkan. Hal ini dibuktikan dengan sepakatnya KPU atas usulan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan larangan bagi eks koruptor menjadi calon kepala daerah pada ajang demokrasi pemilihan kepala daerah yang dihelat 2020 mendatang.
Adanya pembatasan bagi eks napi koruptor telah digulirkan oleh KPU sejak Pemilu 2019 melalui PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Anggota DPR,DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Hanya saja regulasi tersebut digugurkan oleh MA lantaran bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Tentunya dalam membangun wacana seperti ini, KPU juga harus berkaca kepada kasus sebelumnya. Tidak kalah penting, KPU juga harus memperhatikan beberapa ketentuan hukum sebelum mengambil sebuah kebijakan. KPU memiliki instrumen dalam mengatur sebuah ketentuan persyaratan calon kepala daerah yakni Peraturan KPU. Hanya saja perlu diingat jika PKPU merupakan turunan ataupun produk hukum yang harus berpijak pada Undang-undang yang lebih tinggi yakni Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang selanjutnya disebut dengan UU Pilkada. Segala materi yang tertuang dalam PKPU tidak boleh bertentangan dengan UU Pilkada inilah yang dikenal dengan istlah asas hierarki.
Dari segi substansi, larangan mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan menjadi kepala daerah sangat baik. Namun akan bermasalah dari segi regulasi karena potensi membatasi Hak seseorang, untuk menghindari persoalan hukum dikemudian hari maka sebaiknya aturan mengenai larangan mantan narapidana kasus korupsi diatur menggunakan Undang-Undang, karena untuk membatasi hak asasi sebagai warga Negara haruslah dilandasi dengan sebuah putusan pengadilan atau pengaturan di Undang-Undang. Hal ini sejalan dengan aturan yang termuat pada pasal 28J ayat (2) Undang Undang Dasar 1945.
Dari segi kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berwenang membentuk Undang-Undang adalah DPR dengan persetujuan bersama Presiden RI, sehingga akan bermasalah jika pembatasan hak asasi sebagai warga Negara diatur melalui PKPU, karena KPU bukanlah subjek lembaga Negara yang diberikan kewenangan untuk membatasi hak warga Negara sehingga otomatis PKPU tidak dapat menjadi sebuah instrument pembatasan hak.
Pada Pilkada serentak pertama tahun 2015 Mahkamah konstitusi pernah memutus perkara terkait larangan mantan narapidana korupsi dengan nomor putusan 42/PUU-VIII/2015 yang putusannya membatalakan larangan tersebut, lalu pada Pemilu 2019 KPU melalui PKPU 20 tahun 2018 kembali membuat aturan mengenai larangan mantan narapidana korupsi untuk nyaleg kemudian kembali digugat ke Mahkamah Agung dan putusan Mahkamah Agung membatalkan larangan itu sebagaimana tertuang dalam Putusan MA nomor 46 P/HUM/2018. Pada Pemilihan serentak 2020 melalui draft PKPU pencalonan yang beredar KPU kembali mewacanakan untuk mengatur hal tersebut yang potensinya akan kembali dipersoalkan (Judicial review) di MA.
Dalam menutupi celah terjadinya gugatan PKPU jilid II ke Mahkamah Agung, tentunya pemangku kepentingan juga harus lebih jeli dalam menerapkan sebuah regulasi. Perlu dilakukan revisi terhadap regulasi yang menjadi pijakan PKPU nantinya. Dalam artian, UU Pilkada harus secara tegas memaparkan kriteria dan syarat pencalonan kepala daerah dan tidak menimbulkan multitafsir yang berdampak kepada perbedaan pendapat. Sehingga PKPU yang akan digunakan nantinya lebih berbicara kepada hal-hal yang bersifat teknis pelaksanaan Pilkada.
Tidak hanya itu, dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), hal tersebut dapat berpotensi menghambat pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) si calon dalam kontestasi pemilihan kepala daerah yang telah melakukan tindak pidana tersebut ataupun mantan Narapidana tersebut, jika kita lihat Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 28 D ayat 3 “ setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan “ lebih lanjut menurut ketentuan Undang-undang (UU) No.39 tahun 1999 tentang HAM pasal 43 ayat 1 “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Meskipun pelaksanaan HAM bukanlah sesuatu yang mutlak atau absolut. Pembatasan hak politik dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945, dinyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Artinya pembatasan hak politik tersebut hanya berdasarkan pada hukum atau Undang-undang.
Penambahan rumusan HAM serta jaminan peng-hormatan, perlindungan, pelaksanaan, dan pemajuannya kedalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Indonesia bukan semata-mata karena kehendak untuk mengakomodasi perkembangan pandangan mengenai HAM yang makin menganggap penting HAM sebagai isu global, melainkan karena hal itu merupakan salah satu syarat negara hukum. HAM sering dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat peradaban, tingkat demokrasi, dan tingkat kemajuan suatu negara. Rumusan HAM yang telah ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilengkapi dengan memasukkan pandangan mengenai HAM yang berkembang sampai saat ini.
Masuknya rumusan HAM ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kemajuan besar dalam proses perubahan Indonesia sekaligus menjadi salah satu ikhtiar bangsa Indonesia menjadikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Undang-Undang Dasar yang makin modern dan makin demokratis.
Dengan adanya rumusan HAM dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka secara konstitusional hak asasi setiap warga negara dan penduduk Indonesia telah dijamin. Dalam hubungan tersebut, bangsa Indonesia ber-pandangan bahwa HAM harus memperhatikan karakteristik Indonesia dan sebuah hak asasi juga harus diimbangi dengan kewajiban, sehingga diharapkan akan tercipta saling menghargai dan menghormati hak asasi tiap-tiap pihak.
Dalam Bab tentang Hak Asasi Manusia terdapat dua pasal yang saling berkaitan erat, yaitu Pasal 28I dan Pasal 28J. Keberadaan Pasal 28J dimaksudkan untuk mengantisipasi sekaligus membatasi Pasal 28I.
Pasal 28I mengatur beberapa hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, termasuk didalamnya hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Sedangkan Pasal 28J memberikan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Jika rumusan HAM dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu diimplementasikan secara konsisten, baik oleh negara maupun oleh rakyat, diharapkan laju peningkatan kualitas peradaban, demokrasi, dan kemajuan Indonesia jauh lebih cepat dan jauh lebih mungkin dibandingkan dengan tanpa adanya rumusan jaminan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan HAM dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.