Politik, suatu istilah yang sangat familiar bagi seluruh kalangan terutama di tahun 2018 ini, karena sudah jauh jauh hari di aneka medsos 2018 di”tahbis”kan sebagai tahun politik.
Secara substansial, arti kata politik ada cara meraih suatu tujuan,apapun tujuannya baik kekuasaan, profit maupun bahkan untuk menggaet hati lawan jenis.
Kembali ke tahun politik, di 2018 ini ratusan daerah mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga propinsi menyelenggarakan prosesi pemilu daerahnya.
Dengan sistem pencalonan melalui usulan berdasarkan jumlah kursi yang berada di dewan perwakilan rakyatnya masing masing atau pencalonan melalui perseorangan atau lazim disebut independen alias non partai.
Partai partai pun memiliki style yang relatif berbeda satu dengan yang lainnya, ada partai yang dewan pengurus pusat (DPP)nya tegas memutuskan secara _top down_ untuk pengurus partai level dibawahnya patuhi, namun ada pula partai yang memberikan keleluasaan kewenangan bagi partai di daerahnya untuk memilih sendiri calon pemimpin usungan atau _bottom up_
Masing masing pola partai baik yang _top down_ maupun _bottom up memiliki kelebihan & kekurangan yang mendasar.
Tipe partai top down, partai ini cenderung memutuskan berdasarkan data survey yang sering tidak berdasarkan validitas dan keterandalan yang cukup. Karena sudah rahasia umum, lembaga lembaga survey itu sendiri sudah tidak “bebas nilai”. Dan yang lebih “menyakitkan” lagi, dengan pola penentuan calon pimpinan daerah _top down_ tersebut relatif mengabaikan aspirasi pengurus di daerahnya.
Sedangkan bagi sistem partai yang menentukan calon pimpinan daerah dengan cara _bottom up_, relatif lebih men “wong” ke pengurus partai daerahnya.
Jika ditilik dari segi partai secara hakekat, seyogyanya partai itu adalah wahana pengkaderan yang berdasarkan kesamaan ideologi dan _platform_ partai, sehingga seharusnya DPP itu merupakan lembaga keterwakilan dari pengurus pengurus partai di bawahnya. Itu hakekat dari _civil society_ yang berpremis pada _vox populi vox dei_ atau suara rakyat adalah suara Tuhan.
Sehingga partai yang menganut pola _Top Down_ menjadi _vis a vis_ dengan adagium _civil society_ itu sendiri kalau tidak mau dikatakan militeristik.
Dikaitkan dengan reformasi yang didasarkan kepada kejenuhan rakyat atas suasana sosial politik militerisme nya Orde Baru yang ujung ujungnya gaung keras otonomi daerah, maka sebaiknya apapun yang sistemnya _Top Down otoritative_ ditinggalkan, karena alih alih reformasi padahal proses pemilu daerahnya masih ber _mind set_ ortodoks militeristik.
Akan sangat memboroskan uang rakyat trilyunan rupiah karena hanya membuat perpolitikan 2018 ini keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya karena kedaulatan rakyat sebelum reformasi dengan jaman _now_ reformasi secara hakekat sama saja, tetap dalam iklim militeristik.
Pengamat Ekonomi Politik, Cendikiawan Kearifan lokal, dan Ekonom UI