Konsep Pemikiran Cak Nur Tentang Islam Dalam Merespon Kemodernan
Oleh: Nardi Maruapey
“Modernisasi adalah suatu keharusan bagi umat Islam, malahan kewajiban yang mutlak” –
Nurcholis Madjid
Quotes di atas bagi saya adalah bentuk penegasan bahwa begitu pentingnya modernisasi atau kemodernan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Karena dengan itu kita akan terus mengasah fitrah kita sebagai makhluk merdeka dan bebas dalam berpikir dengan menjadikan alam semesta sebagai sumber dari segala sumber yang ada.
Sebagai seorang kader HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), saya sangat tertarik dengan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan salah satu cendekiawan terbaik yang pernah dimiliki negara ini. Ia adalah Nurcholish Madjid atau lebih populer dengan Cak Nur.
Berbagai macam corak pemikirannya yang dituangkan baik lewat ceramah, menulis buku, artikel dan lain sebagainya banyak dijadikan sebagai refrensi dalam diskursus wacana Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan. Cak Nur juga dikenal sebagai tokoh intelektual dan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia seperti layaknya KH. Abdurahman Wahid atau Gus Dur.
Cak Nur sejak masa kecilnya berada di tengah-tengah keluarga kiyai yang sudah pasti basis keagamaannya kokoh. Ayahnya KH. Abdul Madjid adalah tokoh Masyumi. Ia mengawali pendidikannya di lingkungan pesantren yang tentu kental sekali dengan pengajaran tentang Islam. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, di antaranya Pesantren Darul Ulum Rejoso di Jombang dan Pesantren Gontor di Ponorogo.
Selanjutnya, Cak Nur melanjutkan pendidikannya di IAIN Jakarta pada tahun 1961. Saat menjadi Mahasiswa, Cak Nur sangat aktif di dunia organisasi yakni di HMI. Lewat HMI, Ia mengeluarkan pemikirannya yang sangat monumental sampai saat ini tentang Nilai Dasar Perjuangan (NDP) sebagai pandangan hidup dan landasan ideologis kader himpunan. Dan masih banyak lagi gagasan dan pemikiran lainnya, seperti Pluralisme, Sekularisasi dalam konteks kehidupan berdemokrasi, berbangsa, dan bernegara.
Puncak intelektual dan gagasan-gagasan besar pria berkaca mata ini mulai terbentuk ketika Ia melanjutkan studinya di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Dalam pandangan saya, pemikiran Cak Nur sangat konsisten dalam melihat dua hal, yakni Islam-Keindonesiaan dan Islam-Kemodernan.
Hal ini bisa dilihat pada karya-karya yang ditulisnya, yakni: Islam, Kemodernan, Keindonesiaan (1987), Islam Doktrin dan Peradaban (1992), Islam Agama Kemanusiaan (1995), Tradisi Islam (1997), serta Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat (1999).
Berkat gagasan-gagasan besarnya, Cak Nur dianggap sebagai ikon intelektual baru. Orang-orang menganggapnya simbol intelektual Muslim modern, yang tidak saja berlatar-belakang sarungan dan bisa menghadiri forum orang-orang berjas, tetapi juga berpemikiran maju dan percaya diri.
Zacky Hairul Umam (tirto.id, 26/5/2018) menulis, bahwa sering pula ia perbandingkan pendiri bangsa, spirit agama dan intelektualisme Amerika dengan Indonesia, yang menurutnya memiliki titik temu. Kedua bangsa sama-sama memiliki slogan yang hampir serupa: E Pluribus Unum dan Bhinneka Tunggal Ika. Bedanya, ekspresi Islam harus mewarnai pembentukan keindonesiaan yang adil, beradab, dan partisipatif yang digalinya berdasarkan etika kenabian setelah berhijrah dari Mekah ke Madinah. Piagam Madinah disamakan dengan Pancasila, yang menjadi persemaian falsafah kebangsaan. Warga negara dilihat sebagai khalifah Tuhan di muka bumi yang penuh tanggung jawab.
Pendeknya, ia cerdas menggali hikmat-kebijaksanaan secara apik.
Pemikiran Cak Nur Soal Modernisasi
Pada 1970, Cak Nur pernah menulis sebuah makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dalam makalahnya, Cak Nur memandang umat Islam berada dalam kejumudan dan memiliki halangan berupa ketiadaan kebebasan berpikir.
“Adalah sulit sekali untuk dimengerti bahwa justru umat Islam sekarang lebih banyak bersifat tertutup dalam sikap mentalnya. Padahal kitab suci mereka menegaskan bahwa mereka harus mendengarkan ide-ide dan mengikutinya mana yang paling baik,” tulisnya dalam makalah itu.
Cak Nur melihat bahwa pada saat itu kalangan umat Islam masih kaku dan gagap menghadapi arus perkembangan zaman atau transformasi dari tradisional ke modern. Rasionalitas berpikir mereka terhalang dogma yang masih bersifat ambigu. Artinya, mereka masih memahami agama tidak universal dan cara berpikir umat yang masih sempit. Bahkan kebebasan berpikir mereka dibatasi oleh diri mereka sendiri. Hal ini yang dikatakan Cak Nur, bahwa umat Islam berada dalam kemujudan.
Dalam hal ini, Cak Nur berupaya untuk mengenalkan pembaharuan pemikiran (kemodernan) di kalangan umat Islam, yaitu dengan cara menyesuaikan paham-paham keagamaan sesuai dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan cara tersebut diharapkan Islam dapat terlepas dari belenggu kemunduran yang selama ini menjadi predikat umat Islam.
Harun Nasution dalam buku yang ditulisnya, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1991), menjelaskan bahwa tujuan pembaharuan dalam Islam adalah untuk membawa umat Islam ke dalam kemajuan dan ke luar dari kemunduran.
Pemikiran Cak Nur tentang modernisasi tidak semua kalangan menerimanya, karena mereka menilai konsep modernisasi ini lebih mengarah ke barat-baratan dan itu sangat bertolak belakang atau kontroversi. Ada pula yang menganggap bahwa modernisasi merupakan hal yang mustahil dalam agama Islam. Tetapi Cak Nur dengan dingin menanggapi hal itu, bahwa modernisasi itu rasionaliasi bukan westernisasi.
Dengan menggunakan pendekatan Islam secara apik, Cak Nur menjelaskan bahwa sebagai penganut way of life Islam (dalam rangka beragama “Islam”). Artinya, cara berpikir kita juga harus Islami ketika merespon modernisasi, tetapi tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam yang terdapat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab, Cak Nur berpendapat, modernisasi merupakan suatu keharusan bagi umat Islam, malahan kewajiban yang mutlak.
Labih lanjut Cak Nur menegaskan, modernitas berada dalam suatu proses, yaitu proses penemuan kebenaran-kebenaran yang relatif, menuju ke penemuan Kebenaran Yang Mutlak, yaitu Allah. Artinya, ketika manusia menerima modernitas sebagai suatu keharusan, berarti manusia sedang melakukan bentuk rasa syukur terhadap hakikat penciptaan-Nya. Atau menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir (ultimate truth) dari segala sesuatu.
Islam dan Modernisasi
Perkembangan peradaban manusia dan ilmu pengetahuan (Sains) semakin mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dari perkembangan ini manusia sangat menerima dampaknya, sehingga secara otomatis hal ini tidak bisa dihindari sebagai bagian dari dialektika sejarah kehidupan umat manusia.
Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu arah perubahan ke arah yang lebih maju atau meningkat dalam berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Konsep modernisasi Cak Nur berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal, guna kebahagiaan umat manusia, adalah perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar.
Islam merupakan agama yang sangat menganjurkan modernisasi dalam kehidupan umat manusia. Bahkan, modernisasi merupakan pelaksanaan perintah ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini terlihat pada sejarah peradaban Islam itu sendiri, bahwa sejak awal diturunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw untuk diajarkan kepada seluruh umat manusia sebagai petunjuk dan pedoman.
Bagi seorang muslim, yang sepenuhnya meyakini kebenaran dari wahyu Allah (Al-Qur’an) sebagai petunjuk, maka perintah pertama-Nya adalah Iqra atau bacalah. Makna “bacalah” yang dipahami adalah selain membaca kitab Al-Qur’an dan maknanya, harus juga membaca tanda-tanda Alam sebagai bagian dari hakikat penciptaan-Nya.
Dalam ayat suci Al-Qur’an juga tidak sedikit yang membahas tentang berkembangnya Iptek dan Kemodernan. Ayat-ayat tersebut diantaranya:
1) Dalam QS. Yunus: 101, berbunyi Katakanlah: “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”. Ayat menjelaskan bahwa Manusia diperintah oleh Allah untuk mengamati dan menelaah hukum-hukum yang ada dalam ciptaannya.
2) QS. Al Jasiyah: 13, berbunyi “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” Artinya, bahwa Allah menciptakan seluruh alam raya untuk kepentingan manusia, kesejahteraan hidup dan kebahagiaan, sebagai rahmat dari-Nya. Akan tetapi, hanya golongan manusia yang berpikir atau berasional yang akan mengerti dan kemudian akan memanfaatkan karunia itu.
3) Pada QS. Al-Baqarah: 170, dikatakan “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. Penjelasan yang terkandung di dalamnya ialah, Karena adanya perintah untuk mempergunakan akal pikiran (rasio) itu, maka Allah melarang segala sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran, yaitu terutama berupa pewarisan membuta terhadap tradisi-tradisi lama, yang merupakan cara berpikir dan tata kerja generasi sebelumnya.
Sehingga modernisasi dalam pandangan Cak Nur bisa dilacak pada karya yang ditulisnya, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1987) bahwa pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (irasional), dan menggantikannya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah (rasional).
Menurut saya, dalam menghadapi komedernan sebagai suatu fakta, kita harus punya modal untuk dijadikan pengangan. Bukan menghadapinya dengan kekosongan. Karena itu bisa jadi malapetaka bagi diri kita sendiri. Contoh sederhananya adalah, jika kita ingin berperang, maka modal yang harus dimiliki adalah mempunyai senjata dan strategi yang baik untuk manaklukan musuh.
*Penulis adalah mahasiswa dan kader mahasiswa himpunan mahasiswa Islam.