Komparasi Indonesia dan Hong Kong
Empat RUU telah dimumkan penundaan pengesahaanya pada 24 September, setelah sebelumnya Presiden Jokowi meminta penundaan ini sejak beberapa hari sebelumnya sebagai respon atas tuntutan massa pengunjuk rasa. Publik mencatat, sejak Jokowi meminta penundaan pengesahan sejak 20 September, pada hari-hari berikutnya terjadi serangkaian aksi demonstrasi besar yang puncaknya pada 24 September. Bahkan demonstrasi Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia diperkirakan berlanjut hingga awal bulan ini. Mengapa aksi-aksi demonstrasi masih berlanjut bahkan membesar setelah penundaan itu ? Jawaban paling mudah yang mungkin kita dapatkan: sejumlah RUU itu hanya ditunda pengesahannya, bukan dibatalkan; pemerintah hanya mengakomodasi sedikit dari sekian banyak tuntutan utama massa aksi; atau aparat melakukan kekerasan yang menyebabkan jatuhnya korban. Apakah ini cukup menjawab ‘kebandelan’ para demonstran dan bagaimana menjelaskan motif keterlibatan pelajar – terutama dari STM – yang divonis tidak paham isu dalam aksi ?
Demikian pula demonstrasi di Hong Kong, meski pemerintah Hong Kong telah menyatakan secara resmi telah membatalkan RUU Ekstradisi pada 9 Juli, demonstrasi terus terjadi, demonstrasi kian menyebar, ketegangan meningkat, bahkan menuntut Carrie Lam mundur dari jabatannya sebagai Kepala Eksekutif. Tulisan ini akan membahas aksi demontrasi ini sebagai salah satu wajah gerakan sosial dalam kerangka New Social Movement, untuk menjelaskan kemungkinan motivasi lain dari satu peristiwa aktual dan menarik ini. Lalu membandingkannya dengan aksi demontrasi yang terjadi di Hong Kong pada Juli 2019.
Andrew Heywood dalam Politics 4th edition memberikan konsep gerakan sosial sebagai satu bentuk prilaku kolektif tertentu dimana motif untuk aksi berasal sebagian besar dari sikap-sikap dan aspirasi-aspirasi dari para anggota, secara khas beraksi di dalam sebuah kerangka organisasional yang longgar (2014: 461). Satu unsur yang perlu digarisbawahi: motif aksi. Seperti apa sikap dan aspirasi yang membentuk motif para partisipan aksi demonstrasi ?
Gerakan Sosial Baru, sebagai pembeda dari Gerakan Sosial Tradisional diidentifikasi paling tidak dalam tiga ciri khas: lebih banyak menarik kalangan muda, berpendidikan dan yang relatif makmur; memiliki orientasi post-material, lebih berkenan dengan isu-isu ‘kualitas kehidupan’ daripada pembangunan sosial; dan menganut sebuah ideologi yang sama, ide-ide dan nilai-nilai Kiri Baru, yang menentang tujuan-tujuan sosial dan gaya-gaya politik yang sedang berlaku, dan menganut aspirasi-aspirasi libertarian seperti pemenuhan diri dan ekspresi diri (Heywood, 2014: 461-462). Gerakan ini menekankan komitmen pada bentuk-bentuk aktivisme politik baru, seperti gerakan lingkungan, gerakan perdamaian, gerakan anti-kapitalis, dan lain-lain. Tak kalah penting, tujuan perubahan kultural yang dicapai gerakan-gerakan sosial baru. Mengambil contoh paling dramatis: demonstrasi ‘Battle of Seattle’ tahun 1999 dan gerakan pendudukan yang menjamur tahun 2011 sejenis Occupay Wall Street, Heywood menyimpulkan demonstrasi-demonstrasi seperti ini melibatkan ragam kelompok lingkungan, pembangunan, nasionalis etnis, anarkis dan sosialis revolusioner, dengan sarana-sarana komunikasi utamanya internet dan telepon genggam.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, kita dapat melacak motivasi utama – yang mungkin mendorong para partisipan dalam kedua aksi demonstrasi di Indonesia (yang selanjutnya saya sebut ‘Demo Indonesia’), dan di Hong Kong (sebagai ‘Demo Hong Kong’) yang cukup menyita perhatian masyarakat internasional – dalam tiga unit kategori bahasan: identitas kolektif, orientasi post-material, dan agenda perubahan kultural.
Identitas Kolektif
Identitas yang dimaksud tidak merujuk pada kesamaan kelas – seperti dalam tradisi Old Social Movemnent – tetapi pada kesamaan gagasan atas realitas sosial yang dipersepsi mayoritas partisipan (peserta aksi demontrasi). Merujuk pada apa yang disebut Laclau dan Mouffe (2001) sebagai ‘pluralisme demokratis, sebuah gaya politik baru yang menggantikan politik berbasis kelas yang lama (Heywood, 2014: 463). Pluralism demokratis menjelaskan sikap saling simpati di antara beragam jenis gerakan sosial seperti gerakan wanita, gerakan ekologi, gerakan hak-hak binatang, gerakan perdaimaian, gerakan anti-kapitalis, gerakan hak-hak sipil, dan lain-lain.
Massa dalam Demo Indonesia yang di antaranya terdiri dari beragam elemen lembaga kemahasiswaan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, aktivis HAM, pekerja, dan petani – bahkan melibatkan banyak partisipan, khususnya pelajar – jelas tidak dipersatukan oleh solidaritas kelas tertindas (dalam pengertian dialektika kelas borjuis vs proletar). Massa dipersatukan oleh gagasan yang sama, bahwa empat RUU terutama RKUHP sangat merugikan masyarakat. Pemerintah (DPR) bergerak terlalu jauh memasuki wilayah privat warga negara. Apakah konstruk pemikiran seperti ini ada di benak anak-anak STM ? Kita tidak akan menemukan ini jika lensa akademisi yang digunakan. Jawaban-jawaban unik dari mereka seperti: “membantu kakak-kakak”, atau “masa bini sendiri di-wik-wik masuk penjara?” Apa ini tidak berarti sesuatu?
Demo Hong Kong yang dimulai sejak Mei 2019 dan bertahan hingga beberapa bulan berikutnya pun demikian. Demonstrasi warga Hong Kong yang di antaranya diikuti para mahasiswa, pelajar, karyawan, pegawai pemerintah, kelompok profesional seperti pengacara, dalam serangkaian aksi yang panjang bergerak bersama dalam ikatan identitas yang sama: gagasan penolakan atas RUU Ekstradisi atau Fugitive Offenders and Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Legislation (Amendment) Bill 2019. RUU ini dinilai sangat merugikan warga Hong Kong dan akan menjadi preseden kematian kebebasan sipil khas wilayah otonom Hong Kong – yang menjadi pembeda mendasar dengan China. RUU ini dicurigai sebagai jubah semata bagi tindakan represif yang membungkam orang-orang kritis terhadap rezim Beijing. Konstruk identitas ini jelas kontra dengan apa yang diyakini Pemerintah Hong Kong: RUU Ekstradisi akan membantu Hong Kong menegakkan keadilan dan memenuhi kewajiban internasionalnya untuk mencegah Hong Kong menjadi surga para buron kriminal internasional.
Orientasi post-material
Salah satu ciri gerakan sosial baru terkait dengan isu-isu penuntutan kualitas kehidupan, ketimbang isu-isu pembangunan sosial atau ekonomi khas gerakan-gerakan sosial lama. Kualitas kehidupan berkaitan erat dengan moralitas, keadilan politik dan pemenuhan pribadi. Bahwa apakah Demo Indonesia dan Demo Hong Kong merepresentasikan semua ciri gerakan sosial baru itu satu soal yang memerlukan pelacakan lebih teliti. Tetapi segera kita menemukan serangkaian isu yang diusung kedua demonstrasi ini yang menunjukan tuntutan-tuntutan mengenai kualitas kehidupan.
Demo Indonesia misalnya, selain penolakan revisi dan pengesahan RUU tertentu, beberapa poin penting tuntutannya: pemberantasan KKN; merestorasi demokrasi; perlindungan HAM; keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan; perlindungan sumber daya alam; dan reforma agraria – di luar dari tuntutan-tuntutan sporadis khas di beberapa daerah. Demo Hong Kong menolak RUU Ekstradisi adalah ekspresi terganggunya hak-hak sipil yang diyakini sebagai syarat mutlak bagi kualitas kehidupan yang ideal. Sebagai wilayah semi-otonom pasca penyerahan total seluruh wilayah Hong Kong dari Inggris pada 1 Juli 1997 – merujuk Convention for the Extension of Hong Kong Territory atau Konvensi, 9 Juni 1898, lihat William A. Joseph dalam Politics in China (2010) – Hong Kong memiliki keistimewaan seperti kebebasan pers, hak ikut pemilu dan proses pemerintahan, hak berunjuk rasa dan mengkritik pemerintah, dan lembaga peradilan independen.
Baik Demo Indonesia maupun Demo Hong Kong, ragam tuntutan yang diperjuangkan menyangkut kualitas kehidupan yang tipikal aspirasi gerakan sosial baru. Ragam tuntutan ini menjelaskan satu hal krusial: ada pemikiran dan seperangkat nilai yang menjelaskan watak masyarakat, dan perubahan struktural terhadapnya tanpa melibatkan partisipasi luas hanya akan menimbulkan ketegangan. Dan ketegangan itu akan diekspresikan dengan ragam bentuk keterlibatan atau perlawanan baru dalam kerangka aktivisme politik baru. *bersambung