Cerahnews.com – Dalam dua bulan terakhir, nilai tukar rupiah memang mengalami guncangan yang cukup hebat. Dari awalnya rupiah berada di level 13.300 per dollar pada awal Januari kemudian terus terdepresiasi hingga 13.800 pada awal Maret 2018. Berbagai analis ikut dalam permainan tebak-tebakan nilai tukar rupiah. Yang terbaru lembaga rating internasional Standard and Poors (S&P) mengeluarkan rilis bahwa Rupiah sangat berpotensi melemah hingga 15.000 per dolar. Ramalan Standard and Poors biasanya sangat moderat. Artinya, rupiah bisa terperosok lebih dalam dari 15.000, mungkin dikisaran 16.000-16.500 di 2018-2019.
Penurunan nilai tukar ini seringkali dihubungkan dengan tekanan global, yakni kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS alias Fed rate. Setelah kuasa membuat kebijakan moneter beralih dari Gubernur Yellen ke Jerome Powell, The Fed makin mantap menaikkan bunga acuan tahun ini. Data tenaga kerja AS per Februari 2018 tercatat bertambah 313 ribu orang, yang artinya ekonomi AS makin membaik. Dorongan ini membuat Fed rate diprediksi naik hingga 4 kali sepanjang 2018. Kalau bunga acuan AS naik maka akan terjadi flight to quality, alias dana dari negara berkembang ditarik pulang oleh investor AS mencari instrumen yang aman.
Sementara disisi yang lain ada tekanan dari harga komoditas khususnya minyak mentah, CPO, dan batubara. Ketiga komoditas terpenting dunia ini trennya cenderung naik. Bahkan harga minyak mentah diprediksi menembus 80 dolar per barel di semester II mendatang, dari harga saat ini dikisaran 63-65 dolar per barel. Sebagai Negara utama eksportir komoditas seperti batubara dan CPO, harga komoditas global berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi nasional.
Anehnya, Pemerintah sering kali membuat analisis yang tak berdasar fakta. Alih-alih mengedukasi masyarakat dan mempersiapkan mitigasi resiko, setiap kali rupiah melemah kemudian dikaitkan bahwa hal ini tidak mencerminkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia. Ekonomi Indonesia sering dikatakan masih kuat. Faktanya, depresiasi kurs rupiah adalah salah satu yang terdalam dibanding negara-negara lain. Bahkan ketika Rupiah turun 1,55% (mtm), ringgit Malaysia justru menguat 0,8%. Tentu kondisi ini menggambarkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat rapuh dibanding Malaysia.
Alibi lain yang sering menjadi mantra ajaib pejabat Pemerintah adalah pelemahan rupiah menguntungkan kinerja ekspor dan investasi. Jelas ini menyesatkan. Potret industri manufaktur yang berorientasi ekspor di Indonesia sebagian besar bahan bakunya impor. Mulai dari tekstil, petrokimia hingga kimia farmasi semua bergantung pada impor bahan baku. Sektor kimia farmasi misalnya menyerap 90% bahan baku impor yang rentan terhadap fluktuasi rupiah. Ada kausalitas positif antara lemahnya rupiah dengan peningkatan biaya produksi. Kalau rupiah terus melemah opsinya cuma dua bagi pelaku industri kimia farmasi, PHK massal atau naikkan harga jual obat. Tentu hal ini sengaja tidak dipahami Pemerintah, atau ada sesat pikir yang parah di lapangan banteng.
Lalu apa yang harus dipersiapkan ketika rupiah bersiap menembus 15.000 ? Mau andalkan cadangan devisa tapi rasionya terhadap PDB cuma 14%, bahkan kalah dengan Filipina yang tercatat 28%. Cadangan devisa bulan Februari 2018 untuk stabilisasi rupiah sudah terkuras 4 miliar dolar. Kalau 4 kali Fed rate naik tahun ini, artinya cadangan devisa bisa amblas 16 miliar dolar. Kalau bukan cadangan devisa solusi lainnya adalah naikan bunga acuan BI 7days repo rate sebesar 25-50 bps. Tapi bunga kredit nanti makin mahal, Pak Jokowi bisa marah-marah ke BI. Isu bunga kredit memang riskan apalagi Gubernur BI sebentar lagi lengser.
Jalan satu-satunya adalah perbaiki fundamental ekonomi. 16 paket kebijakan yang tak ada kabarnya harus mulai didorong lagi. Industri butuh asupan gizi yang tak kunjung datang. Paket harga gas industri murah, diskon tarif listrik untuk tekstil, dan deregulasi sudah ditunggu-tunggu pelaku usaha. Padahal kalau semua paket bisa berjalan, investor tak sungkan datang ke Indonesia. Toh kita sudah masuk tujuan investasi No.2 di dunia versi USnews. Menteri Keuangannya juga sudah jadi menteri terbaik di dunia.
Selain efektivitas paket kebijakan, daya beli masyarakat harus segera dipulihkan dengan dana perlindungan sosial yang naik 77% jadi Rp283 triliun tahun ini. Petinggi Republik juga harus tegas, kalau ada menteri atau pejabat yang tidak becus kerjanya harus ditegur bahkan diganti. Beberapa saat lalu bansos dikabarkan terlambat cair, tapi tak ada teguran buat pejabat yang bertanggung jawab. Sebelum rupiah makin merosot, pembantu-pembantu Presiden harus tau diri segera lakukan sesuatu jangan kerjanya hanya buat statemen “tak berfaedah” soal keuntungan jika rupiah makin melemah.
Penulis : Bhima Yudhistira Adhinegara (Peneliti INDEF)